Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.
Pagi hari semuanya baik-baik saja. Saya biasa bangun saat matahari terbit, dan mondar-mandir apartemen selama 15 menit. Saat sudah jejek tanah, saya akan ngobrol sama editor dan narsum. Suaraku santai, enteng, dan dalam. Aku bahkan menyanyi-menyanyi kecil. Tapi kemudian tangan tak kasat mata akan mencekek tenggorokanku. Rasanya tegang, menyakitkan, dan aku tahu itu bukan hantu karena komplek apartemen saya enggak seseru itu.
Videos by VICE
Saat makan siang, saya mulai mengerjakan tulisan karena terlalu ribet nulis di ponsel. November lalu, keadaan ini cukup buruk sehingga saya memutuskan untuk mencari tahu apa yang salah dengan diri saya. Raleigh adalah tempat yang tepat untuk orang sakit, karena ada banyak dokter kelas internasional. Saya mendaftar tes alergi di University of North Carolina Allergy & Immunology Clinic. Mereka menggambar punggung saya dan menusuk saya dengan 46 jarum bulu anjing, limbah tungau debu, dan berbagai serbuk sari untuk mengetahui apakah punggung saya akan merah-merah. Ternyata saya tidak punya alergi apa-apa, tapi dokter bilang gejala-gejala alergi yang saya alami sebenarnya akibat dari kepekaan kimia terhadap pewangi buatan.
Saya enggak kayak gini sekitar empat tahun lalu. “Kamu bisa punya sensitivitas di usia berapapun,” ujar Neil Kao, ahli alergi dan imunolog di Greenville, South Carolina. “Sebagian besar waktu, pewangi muncul dalam konsentrasi yang lebih kuat dan lebih tinggi ketimbang wangi alami. Kamu menuntut banyak hal dari tubuh tersebut untuk mengenali molekul-molekul asing lalu mengabaikannya.”
Alergi-alergi adalah reaksi berlebih dari sistem kekebalan tubuh melawan substansi organik. Kepekaan kimia bukan alergi karena bukan sistem kekebalan tubuh yang melawan apapun; melainkan partikel sintetis asing yang menyebabkan iritasi di saluran pernapasan. Pewangi buatan mengganggu banyak orang karena partikelnya memiliki bentuk yang tidak umum bagi tubuh. “Lebih dari jutaan tahun, rangkaian [organik] protein dan karbohidrat adalah suatu hal yang kini bisa diidentifikasikan,” ujar Kao. “Kimia buatan manusia dalam konsentrasi tinggi di ruangan-ruangan kedap udara adalah sebuah perkembangan yang sangat baru.” Partikel-partikel yang berbentuk aneh ini memasuki dan membakar sinus dan rongga pernapasan sampai satu tingkatan yang berbeda dari partikel organik—setidaknya, bagi seseorang yang tidak punya alergi.
Penelitian University of West Georgia pada 2009 menyatakan 30 persen populasi menunjukkan sensitivitas tertentu pada pewangi buatan, meski tidak semua orang menyadarinya. Beberapa tahun kemudian, sebuah penelitian Australia menunjukkan bila reaksi-reaksi terhadap bahan kimia sehari-hari dan pewangi buatan bisa lebih parah dari yang kita sangka. Mulai dari gejala migrain, permasalahan pernapasan, dan bahkan efek-efek neurologis. “Kami tidak yakin mengapa pewangi buatan mempengaruhi banyak sekali orang,” ujar Kao. “Jika ada satu daftar berisi penyebab-penyebab umum kepekaan kimia, saya rasa akan dipenuhi oleh produk dan makanan dalam hidup kita. Kita pasti terpapar untuk waktu yang lama.”
Memasuki Desember, saya mulai menyadari kalau segala hal di dunia memiliki bau yang saling berkompetisi. Sampo, pelembap, sabun cuci tangan, sabun mandi, deterjen, gel rambut, dan bahkan kantung plastik sampah. Saya tidak berharap orang lain mau mengurangi pemakaian produk-produk ini demi saya semata. Di rumah atau ruang publik, itu bukan urusan saya, dan kalau saya hanya melewati ruangan besar penuh udara, saya akan baik-baik saja.
Kepekaan kimia sulit diatasi. Salah satu alasannya adalah, wewangian apapun bisa bikin kamu pusing kalau dalam volume tinggi. Atau bisa jadi zat kimia yang bukan wewangian sama sekali. Tidak ada tes kulit di dokter alergi untuk mempersempit hal ini, jadi saya harus jadi detektif bagi tubuh saya sendiri. Inilah bagian yang sulit, mengetahui apa yang bikin saya pusing dan menghilangkannya dari apartemen yang saya tinggali bersama istri. Namun itu semua sepadan saat saya mendapatkan kembali indra perasa dan penciuman saya, dan tidak pusing dan lelah setelah jam 3 setiap hari, dan tidak bersin-bersin darah di pagi hari.
Pertama-tama saya membuang hal-hal yang mudah seperti detergen, sabun cuci tangan, dan kantung plastik sampah, lalu saya mengganti perlegkpaan mandi—yang dibuat dari bahan-bahan pemicu iritasi seperti glycerin, sulfate, dan formaldehyde. Dari obrolan dengan ahli alergi dan baca-baca artikel online, orang-orang yang sensitif terhadap wewangian menyarankan produk sampo dan sabun yang alami atau tidak mengandung pewangi buatan. Yang saya jarang lihat adalah deodoran. Ini enggak masuk akal bagi saya: ketekmu kan berdekatan dengan wajah, dan antipespiran mengandung banyak sekali zat kimia yang palsu.
Setelah beralih ke deodoran alami yang terbuat dari aloe dan ekstrak pucuk (ya, yang biasa untuk bahan baku bir), saya merasa jauh lebih baik. Yang bermasalah dari antiperspiran adalah biasanya menempel di baju bahkan setelah dicuci secara normal, jadi semua hal yang ada di lemari harus dicuci lagi setelah itu.
Produk-produk buat laki-laki enggak sulit ditemukan atau mahal. Yang lebih sulit adalah mencari produk pembersih. Ada pembersih lantai dan kamar mandi yang “hijau” dan ramah lingkungan, dengan kandungan kimia yang tak begitu menyengat. Saya akhirnya menggunakan produk yang lebih lembut tiga minggu berturut-turut lalu membersihkan apartemen secara serius setiap akhir bulan dan saya jadi punya alasan untuk keluar dari apartemen saat menunggu lantainya kering.
Istri saya sebal juga karena saya memintanya mengubah produk-produknya, tapi toh saya juga menuruti daftar alerginya—dari almond, pisang, kucing, alpukat, perisa vanilla, apapun yang berfotosintesis—selama bertahun-tahun jadi saya enggak merasa bersalah karena memintanya melakukan hal yang sama.
Sejak saya menyingkirkan segala produk itu, saya melihat betapa disayangkan dan rumitnya undang-undang kita dalam mengungkapkan hal-hal yang kita oleskan ke tubuh atau kita hirup setiap harinya. Label bahan bisa mencantumkan “pewangi buatan” tanpa perlu menjabarkannya dan bahkan satu komponen bisa jadi gabungan dari ratusan zat kimia. Terkadang, istri saya menukar gel rambut dengan yang alami, dan saya akan merasa lebih baik keesokannya. Di waktu lain, mengubah produk tidak memberikan dampak. Sulit untuk mengisolasi bahan kimia saat mereka selalu dicampurkan satu sama lain, dan mustahil untuk membedakan satu pewangi buatan dari yang lainnya.
Setelah menyiangi banyak wewangian buatan selama beberapa bulan terakhir, saya sudah jauh lebih baik tapi masih terpengaruh—hanya pada tingkat yang rendah. Suaraku 90 persen baik-baik saja hampir setiap hari, dan hampir baik-baik saja saat aku tidak berada di apartemenku. Dua atau tiga hari dalam seminggu, saya terpapar sesuatu di rumah saya setelah istri saya bersiap-siap di pagi hari atau jika saya masuk ke lemarinya, dan tenggorokan saya mengencang, jadi saya menduga bahwa meskipun produk-produk yang dia gunakan sekarang bebas pewangi, ada beberapa bahan kimia non-wangi yang masih mengganggu saya. Baru sekarang saya bisa pergi dan membaik dalam 30 menit, padahal duu tangan tak terlihat di tenggorokan saya akan mengikuti kemanapun saya pergi.
Kalau kamu berjalan-jalan dan berpikir kamu punya alergi tahunan, seperti dugaan saya dulu, cobalah periksa ke dokter untuk mengetahui apakah kamu kekurangan nutrisi seperti anemia, dan lalukan tes alergi dengan seorang immunolog. Kalau kamu tesnya tidak menunjukkan alergi apa-apa, mungkin kamu pergi menaruh perhatian lebih pada wewangian dan zat kimia buatan dengan menuliskan gejala-gejala, lokasi kamu mengalami gejala tersebut, dan produk-produk apapun yang digunakan saat itu terjadi.
Seiring waktu, kamu mungkin mengetahui kalau pusing setiap kali kamu mencuci baju atau setelah pasanganmu mandi. Ganti setiap produk dengan alternatif bebas wewangian. Untuk produk-produk favorit, seperti produk istri saya, baca labelnya dan pelan-pelan mencoba menghilangkan satu produk. Prosesnya ribet, tapi harus dilakukan karena kepekaan kimia enggak akan hilang dengan sendirinya. Kamu harus menghilangkannya sendiri.
More
From VICE
-
Wildpixel/Getty Images -
Photo by Rijksmuseum/Kelly Schenk -
Photo by Tibor Bognar via Getty Images -
De'Longhi Dedica Duo – Credit: De'Longhi